Pertanyaan di atas, selalu di respons dengan jawaban yang standar.
Yakni, peletak dan penyeru pengggunaan momentum Hijriyah, sebagai
identitas penanggalan dalam Islam, adalah khalifah kedua, Umar bin
Khatab. Rata-rata jawaban menyebutkan, peristiwa itu terjadi pada Pada
16 Juli 622 Masehi. Benarkah ayahanda Khafshah tersebut memang sosok
yang pertama kali menyerukan sistem penanggalan Hijriyah?
Imam as-Suyuthi dalam kitabnya berjudul as-Syamarikh fi Ilm
at-Tarikh, ternyata mengungkapkan fakta lain yang mencengangkan. Dalam
karyanya tersebut, murid dari ulama kenamaan bermazhab Hanafi,
Taqiyuddin as-Subki itu, itu Umar bin Khatab bukanlah sosok yang pertama
kali menyerukan penggunaan peristiwa hijrah dari Makkah ke Madinah
sebagai acuan penanggalan. Akan tetapi, justru Rasulullah SAW lah yang
paling awal menyerukan penggunaannya.
Informasi itu ia peroleh secara langsung dari sang guru, Bulqaini.
Riwayat secara lisan itu menyambung hingga Ibnu Syihab az-Zuhri.
Dituturkannya, bahwa, konon Rasulullah pernah memerintahkan
penanggalan. Ibnu Asakir membenarkan fakta tersebut.
Menurutnya, riwayat inilah yang paling kuat. Sementara, informasi
yang selama ini beredar yang memerintahkan penggunaan momentum hijrah
adalah Umar bin Khatab. Fakta itu tak sepenuhnya benar, kata Ibnu Asakir
menukil pernyataan Ibnu Shalah.
Ibnu Shalah yang merupakan pakar hadis itu memperoleh data yang
menyatakan fakta bahwa Umar bukanlah pionir yang menyerukan dari Kitab
Fi As Syuruth, karangan Abu Thahir Ibnu Mahmasy (Az Ziyadi). Dalam kitab
itu disebutkan, bahwa Rasulullah pernah menulis surat ke umat Nasrani
di Najran.
Untuk penulisannya, Nabi memerintahkan Ali untuk menuliskan dalam
surat tersebut kalimat “Surat ini ditulis pada hari kelima sejak
hijrah”. Dengan yakin, as-Suyuthi menegaskan, penyeru penggunaan hijrah
sebagai pedoman penanggalan Islam, bukan Umar bin Khatab. “Jelas yang
pertama Rasulullah, Umar hanya mengikuti,”tulisnya.
Pendapat ini dikuatkan dengan riwayat lain, misalnya riwayat di Kitab
At Tarikh As Shaghir, karya imam Al Bukhari. Bahwa, saat Umar Bin
Khatab hendak menetapkan sistem penanggalan, ia mengumpulkan para
sahabat dan meminta saran mereka.
Ibnu Al Munayyir menyebutkan, peristiwa itu terjadi ketika masa
pemerintahannya berjalan dua setengah tahun. Setelah mendapatkan
masukan, ia pun memilih pendapat Ali bin Abi Thalib, bahwa acuannya
ialah peristiwa hijrah.
Rasulullah memiliki kepedulian khusus terkait dengan pemakaian
peristiwa hijrah sebagai acuan penanggalan. Ini adalah bagian dari
tradisi atau sunah yang dianjurkan. Kalender Hijriyah bukan sekadar
sebuah sistem penanggalan biasa. Lebih dari itu, bahwa kalender yang
dimulai dari Muharram itu adalah sebuah identitas. Jati diri umat Islam.
Identitas ini juga yang menjadi alasan kuat, kenapa Umar bin Khatab
menampik sejumlah opsi sistem penanggalan yang ditawarkan ketika itu.
Padahal beberapa sistem itu terkenal mapan dan banyak digunakan. Ada
versi penanggalan Persia yang mengacu pada periode wafat raja mereka dan
sistem kalender Romawi yang dihitung dari masa Alexandria. Kesemuanya
di tolak.
Sempat pula ditawarkan penanggalan dihitung sejak kelahiran, masa
kenabian, dan waktu wafat. Peristiwa hijrah akhirnya lebih dipilih. Ini
lantaran hijrah, nyaris diketahui oleh banyak kalangan dan tidak
menimbulkan perselisihan.
Menurut Umar, peristiwa hijrah itulah jati diri dan tonggak peradaban
Islam. Torehan sejarah yang berhasil meletakkan garis tegas antara yang
hak dan batil. Karenanya, sebuah riwayat menyebut hari pertama dari
tahun Hijriyah diawali saat Masjid Nabawi di Madinah didirikan. (QS.
at-Taubah [9] : 108).
Demikian pula saat diputuskan untuk memulakannya dengan Muharram.
Sarat dengan penegasan akan pentingya sebuah identitas. Kenapa Muharram
dipilih sebagai bulan pertama, padahal hijrah terjadi pada Rabiul Awwal.
Muharram adalah bulan saat para jamaah haji tengah kembali pulang ke
kampung halaman mereka. Dari segi kronologi hijrah, Muharram dinilai
sebagai embrio dari hijrah. Pasalnya, Rasulullah telah bertekad hijrah
sejak Muharram.
Sistem kalender Hijriyah. Memang tak begitu populer saat ini di
kalangan umat Islam sendiri. Orang kini lebih mengenal tanggal Masehi.
Hijriyah hanya akan kembali diketahui saat satu Suro misalnya,
peringatan maulid, puasa Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah.
Di luar sederet tentatif itu, Hijriyah akan kembali tenggelam dan
dilupakan layaknya sunah Rasulullah yang lain. Fenomena ini tak boleh
dibiarkan. Perlu ada kesadaran bersama untuk mentradisikan penggunaan
kalender hijriyah. Minimal di tingkat keluarga. Tanpa pemahaman sejak
dini itu, bukan mustahil generasi kelak akan abai perihal urgensi Tahun
Hijriyah. (rol)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar