Rabu, 29 Desember 2010

Artikel IV

Korupsinya Para Sarjana
 
PARA penggemar karawitan jawa, khususnya uyon-oyon atau klenengan, pasti akrab sekali dengan parikan para sinden seperti ini:” Rujak... rujak nangka, rujake para sarjana, ya maaas!”. Tapi di era gombalisasi ini, lirik lagu itu bisa ubah menjadi: rujak...rujak nangka, korupsinya para sarjana, ya maaas!
Lho, ko begitu? Soalnya ini merunut pendapat Busyro Muqodas, ketua KPK, berdasarkan catatannya, para pelaku korupsi di indonesia rata-rata bergelar sarjana. Bahkan sarjana hukum, termasuk lulusan Akpol yang mestinya lebih tahu hukum. “Kalau begini jangan-jangan ada pendidikan hukum kita yang salah,” kata Busyro terheran-heran.
Memang ironis jadinya, para sarjana hukum malah jadi orang hukuman. Tapi, berdasarkan “kawruh begja”-nya zaman era gombalisasi ini, orang justru merasa begja (mujur) memperoleh harta banyak dan cepat, meski itu bukan hasil keringat sendiri. Dia takkan rumangsa dosa (merasa berdosa) ketika kekayaan instannya itu harus mendzolimi pihak lain. Ajaran agama yang mengatakan: laknatullah ala rosyi wal murtasyi (laknat allah atas mereka yang menyuap dan disuap), hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
Boleh saja mereka bergelar sarjana hukum. Tapi, yang tahu hukum itu justru mempermainkan pasal-pasal dalam aturan hukum, untuk bisa dirubah menjadi segepok uang. Ini dilakukan oleh para praktisi korupsi itu sendiri, lalu merembet para penegak hukumnya, dari lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian bahkan pengacaranya. Maka inilah kemudian yang dinamakan korupsi berjamaah nan sistematik.
Dalam berbangsa dan bernegara, mestinya kita ingat ajaran Mangkunegara yang mengatakan: melu handarbeni lan melu hanggondheli (ikut memiliki dan mempertahankan) terhadap aset-aset negara. Tapi yang terjadi justru ikut hanggrogoti (menggrogoti) dan hanetheli (mencopoti) untuk membuncitkan perut sendiri. Maka, sebetulnya bukan penddikan sarjananya yang salah, melainkan memang mentalnya yang rombeng. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar